Sabtu, 16 Juni 2012

Analisis Drama

Analisis Drama “Sepasang Merpati Tua” Karya Bakti Soemanto

      Pada dasarnya. sastra merupakan suatu bentuk karya seni karena itu ia mempunyai sifat yang sama dengan karya seni yang lain, seperti seni suara, seni lukis, seni pahat, dan lain-lain. Tujuannya pun sama yaitu untuk membantu manusia menyingkapkan rahasia keadaannya, untuk memberi makna pada eksistensinya, dan untuk membuka jalan kebenaran. Yang membedakannya dengan seni yang lain adalah bahwa sastra memiliki aspek bahasa.  Karya sastra sendiri memiliki genre sastra yaitu terdiri dari prosa, puisi, dan drama. Berbeda dengan dua jenis karya sastra yang lainnya, drama merupakan salah satu genre sastra yang paling susah ditelaah maksudnya dalam waktu yang singkat. Karena drama merupakan sebuah karya sastra berupa dialog yang tidak hanya untuk dibaca begitu saja tapi dilakonkan di atas pentas dan butuh analisis yang lebih dalam menelaah makna yang terkandung dalam sebuah drama yang dipentaskan tersebut.
     Sudah bukan menjadi rahasia lagi bahwa pada kenyataannya karya sastra yang baik tidak selalu disambut dengan keramahan, bukannya karena tidak mau beramah tetapi karena kurang mampu menangkap di mana sebenarnya nilai yang ada di dalamnya yang bisa disumbangkannya pada masyarakat dalam hal ini penikmat karya sastra. Hal itu pula yang terjadi dalam karya sastra bentuk drama. Oleh karena itu, berangkat dari dua faktor di atas maka saya mencoba untuk menyajikan telaah pada sebuah drama yang berjudul Sepasang Merpati Tua karya Bakti Soemanto dalam tulisan saya ini. Manfaat dari tulisan ini khususnya bagi saya pribadi dan juga  Anda pembaca secara umum yaitu agar bisa terus melatih kemampuan dalam menelaah sebuah karya sastra baik itu prosa, puisi, maupun drama itu sendiri. Karena semakin sering menelaah sebuah karya sastra dan semakin banyak membaca referensi telaah sebuah karya sastra maka secara tidak langsung kita sedang belajar untuk menjadi lebih baik dalam menelaah sebuah karya sastra. Selain itu, pada dasarnya tulisan ini bertujuan untuk memenuhi tugas final semester IV dalam mata kuliah Kajian Drama yang diasuh oleh asisten dosen mata kuliah tersebut yaitu Zainal Surianto.,S.Pd.
     Kembali berbicara tentang drama. Seperti yang sudah saya katakan di awal tadi, bahwa menelaah sebuah drama bukan merupakan sesuatu hal yang mudah karena drama mengutamakan perbuatan, gerak, yang merupakan inti hakikat setiap karangan yang bersifat drama (dialog). Menurut Moulton drama adalah hidup yang ditampilkan dalam gerakan (life presented in action) ataupun Bathazar Verhagen yang mengemukakan bahwa drama adalah kesenian melukis sifat dan sikap manusia dengan gerak (Slamet Muljana, 1967:176). Kedua defenisi tersebut sudah cukup meberikan penekanan bahwa drama itu pada intinya berbicara tentang dialog dan peran tokoh yang aada di dalamnya. Dapat dikatakan bahwa drama merupakan miniatur kehidupan yang sebenarnya. Oleh karena itu, tidak jarang sebuah drama yang dipentaskan banyak berisikan kritik-kritik social di dalam kehidupan manusia. Seperti halnya dengan drama “sepasang merpati Tua” ini. Awalnya orang akan mengira bahwa yang dikisahkan di dalamnya adalah tentang sepasang merpati tua sebenarnya, padahal sama sekali tidak terdapat salah satu sisi cerita ataupun tokoh di dalamnya yang berbicara soal merpati tua. Meskipun saya belum pernah melihat secra langsung pementasan drama ini, akan tetapi dari naskah yang ada sudah sedikit cukup memberikan gambaran tentang apa yang ingin disampaikan oleh pengarang di dalamnya. Untuk menguraikan lebih jelas tentang hal ini saya mencoba menelah drama ini dengan menggunakan analisis struktural. Dalam hal ini, analisis struktural bertujuan untuk mebongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semendetil, dan mendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw, 1984:135).
      Pendekatan struktural atau yang biasa disebut juga pendekatan objektif berangkat dari sebuah paham yang disebut strukturalisme. Menurut Hawks (1978: 17-18) bahwa:
“Strukturalisme adalah cara berfikir tentang dunia yang dikaitkan dengan persepsi dan deskripsi struktur, atau sebuah struktur yang unsur-unsurnya atau bagian-bagiannya saling berhubungan antara bagian yang satu dengan yang lain. Sebuah unsur dalam teks sastra tidak mempunyai makna arti sendiri bila dipisahkan dengan unsur-unsur yang lain dalam dan keseluruhannya”
     Pendekatan strukturalisme adalah pendekatan yang yang membatasi diri pada penelaahan karya sastra itu sendiri, terlepas dari soal pengarang dan pembaca. Dalam hal ini, pendekatan strukturalisme menempatkan karya sastra atau peristiwa di dalam masyarakat menjadi satu keseluruhan. Oleh karena itu, saya mencoba menggunakan pendekatan ini untuk melihat dan menelaah keterkaitan antar unsure yang terdapat dalam drama “Sepasang Merpati Tua” ini,baik itu unsur intrinsiknya maupun unsur ekstrinsiknya yang diramu pengarang dalam  menyampaikan pesannya pada sebuah drama tersebut. Untuk lebih jelasnya berikut pemaparannya.

1.    Tema
     Tema adalah ide yang mendasari karya sastra. Istilah tema berasal dari kata “theme” yaitu ide yang menjadi pokok suatu pembicaraan atau ide pokok suatu tulisan. Tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra, yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantik dan, menyangkut persamaan-persamaan atau perbedan-perbedaan (Hartoko dan Rahmanto dalam Nurgiantoro, 2000:68). Dalam menentukan tema sebuah karya sastra, haruslah disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu cerita.
     Berangkat dari pemahaman tersebut, maka setelah membaca keseluruhan isi naskah drama ini, saya menyimpulkan bahwa drama ini bertemakan kehidupan sosial politik masyarakat yang disajikan dengan menggunakan bahasa-bahasa yang ringan dan tingkah yang lucu dari kedua tokoh yang ada dalam cerita, hal ini terlihat dari banyaknya isi dialog yang mengangkat tentang kehidupan sosial dan politik di dalam masyarakat. Salah satunya seperti yang terdapat dalam kutipan dialog berikut ini:
Kakek: Aku ingin jadi diplomat yang diberi pos di kolong jembatan saja..
Nenek: Ah, gila. Itu pekerjaan gila.
Kakek: Banyak diplomat yang dikirim ke pos-pos manapun di dunia ini. Tapi pemerintah belum punya wakil untuk bicara-bicara dengan mereka yang ada di kolong jembatan, bukan? Ini tidak adil. Maka aku menyatakan diri untuk mewakili pemerintahan ini sebagai diplomat kolong jembatan.

Seperti yang kita ketahui bahwa karya sastra bisa menjadi salah satu sarana untuk mengkritisi kehidupan sosial dan politik di dalam masyarakat. Karena memang pada kenyataannya di Negara kita ini kehidupan sosial masyarakatnya terkesan termanfaatkan oleh kehidupan politik yang ada. Maksudnya, banyak para pejabat pemerintah yang harusnya mengutamakan kepentingan rakyat justru menjadi penyebab kesengsaraan rakyat. Hal inilah yang menurut saya menjadi tema yang ingin disampaikan pengarang dalam dramanya ini. Hal itu didukung juga oleh beberapa dialog yang terdapat dalam drama Sepasang Merpati Tua ini.

2.    Alur
      Alur merupakan salah satu aspek penting dalam sebuah cerita. Rangkaian peristiwa atau tahapan peristiwa yang terjadi dalam sebuah cerita yang dialami tokoh-tokohnya dinamakan plot atau alur. Menurut Forster (dalam Nurgiantoro, 2000:114), plot menampilkan kejadian-kejadian yang mengandung konflik yang mampu menarik atau bahkan mencekam pembaca, dan mendorong pembaca untuk mengetahui kejadian-kejadian berikutnya. Namun, tentu saja hal itu tak akan dikemukakan begitu saja secara sekaligus dan cepat oleh pengarang, melainkan disisasati dengan hanya dituturk sedikit demi sedikit mengenai peristiwa-peristiwa yang sebenarnya, atau menyembunikan sesuatu yang menjadi kunci permasalahan. Alur pada tiap cerita berbeda-beda, namun pada dasarnya alur mengandung aspek-aspeknya seperti situasi awal, pengembangan cerita, klimaks, dan penyelesaian. Untuk lebih jelasnya saya mencoba menguraikan alur pada drama ini:
1.    gambaran suasana panggung
2.    nenek sedang menyulam sambil mengomel kepada kakek yang tak kunjung muncul
3.    kakek masuk sambil menanyakan pada nenek cocok atau tidaknya kopiah yang digunakannya 
4.    nenek bermesraan kepada kakek
5.    kakek merasa risih dengan sikap nenek
6.    perdebatan  nenek dan kakek soal cita-cita kakek
7.    nenek tidak menyetujui cita-cita kakek
8.    kakek terjatuh
9.    nenek menjerit dan menangis
10.    kakek bangkit kembali
11.    perdebatan berlanjut
12.    kakek menyuruh nenek untuk merenungi kata-katanya
13.    jam dinding berbunyi dua belas kali
14.    nenek dan kakek sama-sama termenung
15.    jam dinding berbunyi dua belas kali lagi
16.    nenek heran karena jam dinding berbunyi dua belas kali lagi
17.    tanggapan kakek terhadap rasa heran nenenk
18.    layar turun, cerita selesai.

      Dari uraian sekuen di atas bisa disimpulkan bahwa pengalauran yang digunakan drama ini adalah alur maju karena menceritakan kisah pada saat itu. Di mana cerita dimulai dengan gambaran suasana panggung dan monolog nenek yang sednag  menunggu kakek. Tak lama kemudian kakek muncul. Bagian ini adalah bagian perkenalan. Selanjutnya konflik mulai terjadi di saat perdebatan muncul antara kakek dan nenek saat membahas cita-cita sang kakek. Pada saat ini sebenarnya terdapat dialog si nenek yang menyinggung tentang pekerjaan si kakek saat muda. Akan tetapi tidak terlalu mendetail sehingga menurut saya bagian ini tidak bisa dikategorikan sebagai alur cerita dalam drama ini. Pada bagian selanjutnya peleraian mulai muncul saat si kakek terjatuh dan nenek menagisinya. Dan penyelesaian muncul saat kakek bangkit kembali dan memberikan penjelasan-penjelasan kepada nenek serta menyuruh nenek merenungi kata-katanya. Selanjutnya cerita berakhir dengan diturunkannnya layer dan lampu pangguing dimatikan.

3.    Tokoh dan Penokohan
      Tokoh adalah orang yang memerankan cerita. Sedangkan penokohan berasal dari kata “tokoh” yang berarti pelaku, karena yang dilukiskan mengenai watak-watak tokoh atau pelaku cerita. Melalui tokoh, pembaca dapat mengikuti jalannya cerita dan mengalami berbagai pengalaman batin seperti yang dialami tokoh cerita (Sumardjo, 1988:56). Dengan demikian, perwatakan dan penokohan adalah pelukisan tokoh/pelaku cerita melalui sifat-sifat, sikap, dan tingkah laku dalam cerita. Tokoh yang ada dalam cerita adalah hasil rekaan pengarang. Karena dalam sebuah karya sastra pengarang mempunyai kebebasan penuh untuk menampilkan tokoh siapapun orangnya, walau hal itu berbeda dengan dunianya sendiri di dunia nyata (Nurgiantoro, 2000:168). Oleh karena itu, seorang tokoh harus bersikap dan bertindak semestinya sesuai dengan tuntutan cerita dengan perwatakan serta kepentingan yang disandangnya.
     Dalam drama ini tokoh yang terdapat di dalamnya ada dua yaitu tokoh kakek dan tokoh nenek. Tokoh kakek memiliki perwatakan yang tegas dan memiliki emosi yang tinggi. Emosi yang dimaksud di sini bukan hanya terbatas pada rasa marah. Akan tetapi keberanian yang menggebu-gebu. Hal ini sesuai dengan defenisi emosi (Depdikbud, 1999:261) adalah luapan     perasaan yang berkembang dan surut dalam waktu singkat atau keadaan reaksi psikologis dan fisiologis (seperti kegembiraan, keharuan, kecintaan, keberanian yang bersifat subjektif). Perwatakan kakek ini bisa dibuktikan dalam bebrapa kutipan diolgnya, salah satunya adalah kutipan berikut ini:
Kakek: ada apa kau? Kau tidak senang aku jadi professor. Kau kepingin aku jadi diplomat? Baik. Aku akan jadi diplomat demi keselamatan perkawinan kita.
Kakek: Aku akan segera jadi diplomat sekarang juga. Di mana posku? Negara-negara Barat? Timur? Asia? Atau PBB?

    Sedangkan tokoh nenek memiliki sifat manja dan cemburu. Layaknya seorang wanita tokoh nenek menggambarkan karakter wanita pada umumnya yang ingin diperhatikan dan dimanja. Sehingga saat dia melihat ada yang lain dari sikap seseorang yang diharapkannya memebrikan perhatian maka dia akan merasa cemburu. Secara harfiah, kecemburuan adalah bentuk khusus dari kekhawatiran yang didasari oleh kurang adanya keyakinan terhadap orang yang dicemburuinya. Sehingga menimbulkan rasa jengkel dan tidak senag terhadap orang tersebut. Perwatakan tokoh nenek ini bisa dilihat dari kutipan dialognya berikut ini:
Nenek: (Bicara sendiri). Ah, dasar! Kayak nggak ingat sudah pikun. Pekerjaannya tidak ada lain selain bersolek. Dikiranya masih ada gadis-gadis ynag suka memandang. Hmmm.. (Mengambil cangkir, lalu meminumnya).

4.    Latar atau Setting
     Latar atau setting disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungna sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams, 1981:175). Berangkat dari pemahamna tersebut, maka latar atau setting yang terdapat dalam drama ini dapat dilihat pada bagian pembuka drama ini. Di mana digambarkan bahwa lattar tempat yang terdapat dalam drama ini adalah di sebuah rumah sepasang orang tua yang digambarkan seperti berada di ruang tamu. Sedangkan waktu peristiwa yang digambarkan dalam drama ini adalah menjelang malam sampai pada saat malam menjelang larut. Ini terdapat pada bagian pembuka drama dan pada kutipan dialog berikut:
Nenek: nanti saja, kalau sudah tak ada orang banyak..(terdengar suara jam dinding dua belas kali)
Nenek: sudah larut tengah malam.


5.    Sudut Pandang
     Sudut pandang adalah tempat penceritaan dalam hubungannya dengan cerita, dari sudut mana penceritaan menyampaikan kisahnya. Sudut pandang dilihat dari aspek posisi pengarang dan pusat pengisahan pada posisi penceritaan. Sudut pandang ada tiga macam yaitu:
a)    Pengarang terlibat (other participant), pengarang ikut ambil bagian dalam cerita sebagai tokoh utama atau yang lain, mengisahkan tentang dirinya. Dalam cerita ini, pengarang menggunakan kata ganti orang pertama (aku atau saya)
b)    Pengarang sebagai pengamat (other observant), posisi pengarang sebagai pengamat yang mengisahkan pengamatan sebagai tokoh samping. Pengarang berada di luar cerita, dan menggunakan kata orang ketiga (ia atau dia) di dalam ceritanya.
c)    Pengarang serba tahu (other omniscient), pengarang berada di luar cerita (impersonal), tapi serba tahu tentang apa yang dirasa dan diperkirakan oleh tokoh cerita. Dalam kisahan pengarang memakai nama orang dan dia (orang ketiga).

     Dari uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa dalam drama ini, pengarang menggunakan sudut pandang yang ketiga, yaitu pengarang sebagai other omniscient atau pengarang serba tahu. Karena pengarang menggunakan nama orang dan sudut pandang orang ketiga dalam cerita ini. Selain itu ia tahu apa yang dirasakan oleh sang tokoh. Dalam hal ini, berhubungan dengan drama pengarang yang dimaksud berposisi sebagai sutradara yaitu oerang yang mengatur cerita dan mengarahkan tokoh dalam cerita.



6.    Amanat 
     Amanat merupakan pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang dalam ceritanya. Amanat yang terdapat dalam drama ini dapat diuraikan sebgai berikut:
1.  walaupun sudah berusia lanjut sepasang suami istri harus tetap mempertahankan keharmonisan rumah tangganya.
2. sebuah pekerjaan tidak dilihat dari jabatannya, akan tetapi dari niat dan tujuannya untuk melakukan   pekerjaan tersebut
3.  masih banyak hal yang perlu kita renungkan di dunia ini
4. hidup tidak hanya dilihat dari sisi materinya dan tolok ukur tertentu, akan tetapi sejauh mana kita bisa menjalani kehidupan ini dengan berani mengambil keputusan yang kita anggap baik


    Selain unsure-unsur intrinsic yang suidah saya paparkan di atas, di dalam drama ini juga terdapat unsure ekstrinsiknya. Untuk lebih jelasnya berikut penjabarannya.

1.    Pengaruh sosial
     Pengaruh sosial yang dimaksudkan adalah aspek yang menyangkut hbuubngan manusia dengan manusia. Baik secara langsung maupun dalam kelembagaan (keluarga, masyarakat). Pengaruh sosial membuat sadar akan tanggung jawab sebagai manusia dalam kehidupan bersama menurut berbagai dimensinya. Dalam drama ini, pengaruh sosial yang digambarkan adalah kehidupan masyarakat miskin yang memanga terkadang tidak mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Sehingga melalui cerita dalam drama ini pengarang memunculkan relita tersebut dalam dialoh berikut:
Kakek: Banyak diplomat yang dikirim ke pos-pos manapun di dunia ini. Tapi pemerintah belum punya wakil untuk bicara-bicara dengan mereka yang ada di kolong jembatan, bukan? Ini tidak adil. Maka aku menyatakan diri untuk mewakili pemerintahan ini sebagai diplomat kolong jembatan.
     Dari dialog tersebut dapat dilihat bahwa pengarang menghubungkan realitas kehidupan masyarakat dengan cita-cita sang kakek. Di mana pada intinya yang ingin disampaikan adalah berupa kritik terhadap pemerintah akan kehidupan sosial masyarakat Indonesia saat ini.

2.    Pengaruh ekonomi
     Pengaruh ekonomi yang dimaksud adalah berhubungan dengan aspek ekonomi yaitu segala hal yang berhubungan dengan usaha manusia untuk memenuhi kebutuhannya dan keadaan perekonomian seseorang yang tergambar melalui kehidupannya sehari-hari. Dalam drama ini pengaruh ekonomi yang dituangkan pengarang dalam ceritanya adalah kondisi keluarga dalam sebuah masyarakat yang terkadang pas-pasan bukan beraarti menjadi tolok ukur bahwa mereka tidak meiliki pengetahuan yang luas. Terkadang, sesorang yang hidup dalam kondisi perekonomian yang standar lebih meiliki nurani dari pada orang-orang yang perekonomiannya di atas standar. Hal inilah yang ingin digambarkan pengarang dalam ceritanya pada drama ini. Di mana kakek dan nenek yang suasana rumahnya digambarkan tidak begitu mewah akan tetapi sang kakek memiliki pemikiran-pemikiran yang tidak biasa dalam memikirkan kondisi yang terjadi di dalam masyarakat.

3.    Pengaruh agama
     Pengaruh agama adalah berhubungan dengan aspek kepercayaan kepada Tuhan Yang maha Esa. Dalam drama ini, ada pengaruh agama yang dimunculkjan oleh pengarang dalam dramanya pada kutipan berikut:
Nenek: Kurang besar kedudukan itu. Atau diplomat surgawi saja? (Kakek memandang nenek)
Nenek: tapi itu lebih sukar, sebab Tuhan susah diajak berdebat. Tuhan Cuma diam saja. Orang hanya menegrti apa mau Tuhan kalau sudah terlaksana. Sedang rencana-rencana selanjutnya, masih gelap bukan? Bagaimana kau mengajukan argumentasi-argumentasimu jika mau ajak Tuhan berdiskusi?
(kakek geleng kepala)

    Dari kutipan tersebut digambarkan aspek agama yang muncul. Di mana pada kehidupan sehari-hari terkadang seseorang itu  kadang meminta sesuatu yang diingankannya, akan tetapi Tuhan memberikan apa yang dibutuhkannya untuk memenuhi keinginannya tersebut. Sementara untuk sesuatu yang telah direncanakan terkadnag tak terlaksana. Begitu pula dengan kehidupan si kakek yang diceritakan pengarang dalam drama ini.

4.    Pengaruh politik
     Pengaruh politik yang dimunculkan pengarang dalam drama ini adalah adanya kebijakan-kebijakan politik pemerintah yang terkadang membuat masyarakat terkungkung dan tidak bisa berbuat apa-apa. Padahal, tidak jarang kebijakan ataupun sisitem-sistem pemerintahan yang ditempuh oleh pemerintah tersebut justru tidak memberi dampak apa-apa bagi masyarakat kelas bawah. Pengaruh politik ini diungkapkan pengarang dalamn kutipan dialog berikut:
Kakek: kita berpikir karena kita mengerti. Tapi karena berpikir perlu sistem. Sistem membelenggu kita. Kita jadi tolol. ….. (dan seterusnya).

    Kesimpulan saya di akhir tulisan saya ini, bahwa drama Sepasang Merpati Tua ini menceritakan gambaran kehidupan masyarakat yang diungkapkan oleh Bakti Soemanto dalam bentuk drama yang ditokohkan oleh sepasang orang tua untuk mengkritisi kehidupan sosial politik yang ada di Negara kita ini. Sehyingga masyarakat luas bisa menilai sendiri dan mengetahui apa yang harus dilakukan untuk menghadapi kondisi tersebut. Harapannya semoga semakin banyak lagi telaah-telaah yang muncul untuk sebuah naskah drama yang lebih baik dari apa yang sidah saya lakukan ini sehingga penikmat sastra, khususnya drama tidah hanya sekadar menikmati tapi memhami juga apa yang disampaikan di dalamnya.
  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar