Sabtu, 16 Juni 2012

Analisis Puisi

Feminisme dalam Jiwa yang Tersekap
Jiwa yang Tersekap 
 

Salam bagi jiwaku
Salam bagi jiwa-jiwa yang teraniaya


     Inilah judul dan dua larik awal dalam puisi Jiwa Yang Tersekap karya Nur Wahida Idris yang awalnya menciptakan segudang tanda tanya dalam benak saya. Entah apa yang dimaksudkan oleh penyair dalam puisinya, yang pasti saat saya memulai membaca puisi ini, saya merasakan ada sesuatu hal yang urgen dan menarik yang ingin disampaikan oleh penyair melalui puisinya tersebut.

    “Jiwa-jiwa siapa yang tersekap dan teraniaya? Mengapa penulis seakan begitu pasrah dengan hanya bisa menitipkan salam saja pada jiwa-jiwa itu dan juga jiwanya? Apa hubungan jiwanya dengan jiwa-jiwa yang lain itu?”
    Inilah beberapa pertanyaan yang muncul di awal  membaca puisi ini yang kemudian menggerakan nafsu keingintahuan saya untuk lebih jauh ‘menelanjangi’ puisi ini di bawah kontrol kemampuan yang saya miliki. Terlalu sulit awalnya. Karena sebagai ‘tamu’ dalam sebuah dunia kritikus sastra, saya merasa belum banyak mengenal dan memahami hal-hal yang harus dipatuhi yang menjadi aturan dalam dunia ini, khususnya kritik sastra puisi. Namun, tentunya saya tidak ingin menjadi jiwa yang tersekap seperti apa yang dikatakan oleh penyair sehingga hanya bisa sekadar memandangi puisi ini saja, tetapi saya justru ingin menjadi jiwa yang bebas untuk dapat mengkaji makna dari puisi ini dengan belajar untuk tetap berada pada limit interpretasi sebuah puisi yang saya pahami.

   Nur Wahida Idris adalah seorang perempuan yang bisa dikatakan telah cukup berhasil dalam dunia kepenyairan puisi. Hal itu dibuktikan dengan diterbitkannya buku puisinya yang berjudul Mata Air Akar Pohon ([sic], 2008). Selain itu juga, dia mengelola AKAR Indonesia dan Komunitas Rumahlebah yang tiga puisinya, termasuk puisi Jiwa Yang Tersekap ini dimuat dalam buku kumpulan puisi yang juga diberi judul Rumahlebah ruangpuisi 02. Sebagai seorang perempuan tentunya tidak mudah untuk dapat menembus dunia kepenyairan yang menurut saya pada awalnya hanya banyak digeluti oleh kaum pria. Karena mungkin awalnya orang beranggapan bahwa puisi itu identik dengan hal-hal romantis dan laki-laki adalah sosok makhluk di dunia  yang dianggap paling romantis yang bisa merangkai kata-kata paling indah dalam bentuk puisi. Akan tetapi, Nur Wahida Idris, seorang perempuan yang lahir di Ketugtug, Loloan, Negara, 28 April 1976, yang juga merupakan istri dari seorang penyair yang bernama Raudhal Tanjung Banua berhasil membuktikan bahwa dia bisa dan berhasil berada dalam dunia kepenyairan puisi juga. Hal inilah yang menurut saya secara tidak langsung ingin disampaikan oleh penyair dalam puisinya ini. Sebagai seorang perempuan, dia ingin membuktikan bahwa perempuan juga mampu berkarya dan melalui puisinya ini saya menangkap bahwa penyair juga menginginkan kaum perempuan untuk dapat bebas dari sarang pemarginalisasian dan bisa melakukan hal yang sama seperti yang dia lakukan, yakni mampu mengembangkan potensi yang dimiliki. Dalam puisi ini, ada beberapa bait yang menjadi fokus kajian saya sehingga saya mengatakan bahwa puisi ini adalah semacam upaya dari penyair untuk “memberontak” pengukungan terhadap kebebasan hak perempuan. Seperti yang saya katakan di awal tadi, bait pertama menjadi bait yang sangat membuat saya tertarik sekaligus kagum. Salam bagi jiwaku/salam bagi jiwa-jiwa yang teraniaya, kata  “jiwaku” dan “jiwa-jiwa”, saat membaca kata-kata ini saya merasa bahwa kata-kata ini mempunyai “nyawa” yang membuat saya seakan merasa terwakili pada sesuatu hal. Melihat kata-kata ini saya memahaminya sebagai sebuah representatif penyair untuk mengungkapkan bahwa jiwanya adalah termasuk dalam jiwa-jiwa yang teraniaya dan tersekap itu. Dengan kata lain, secara tidak langsung jiwa-jiwa yang tersekap yang dimaksud oleh penyair di sini adalah perempuan. Perempuan, sosok makhluk yang banyak mengalami represi. Sebagai seorang perempuan, penyair tentunya ikut melihat dan mungkin ikut juga merasakan apa yang dinamakan dengan pemarginalisasian kaum perempuan. Hal itu tidak dapat dipungkiri karena selama ini perempuan dianggap sebagai kaum yang lemah dan tidak dapat berbuat apa-apa. Banyak contoh kasus yang dapat kita lihat selama ini, misalnya seorang anak perempuan yang hidup dalam lingkungan keluarga dengan adat budaya yang fanatik harus sudah siap untuk menerima perjodohan dengan laki-laki yang dikehendaki oleh orang tuanya yang dianggap sederajat dengan keluarga mereka. Atau contoh kasus lainnya, mereka yang hidup dalam sebuah keluarga yang tidak mampu justru merasakan hal yang lebih dari itu, mereka harus bekerja, tidak bisa sekolah, atau juga menjadi korban barter orang tuanya untuk membayar hutang-hutang orang tua mereka sehingga harus menikah di bawah umur, serta masih banyak lagi contoh kasus lainnya. Hal-hal seperti itu bisa terjadi karena masih adanya pemikiran- pemikiran primitif yang berkembang dalam lingkungan sebagian masyarakat kita bahwa anak perempuan itu tidak butuh pendidikan karena setinggi-tingginya pendidikan yang dia miliki pasti toh.. nantinya akan berada di kamar, kasur, dapur, dan sumur.  Meminjam pernyataan Prof. Dr. Ahmad Shalaby dalam bukunya “Kehidupan Sosial dalam Pemikiran Islam”, kaum wanita pada masa silam itu dianggap sebagai sejenis penyakit yang tidak ada harganya, makhluk kelas dua yang hanya bisa dinikmati dan tunduk pada kemauan laki-laki, tidak berhak untuk hidup mulia, dan tidak mendapatkan bagian harta warisan. Kondisi yang tidak berbeda jauh dengan yang terjadi saat ini. 

    Hal inilah yang kemudian menurut saya ingin disampaikan oleh penyair dalam puisinya, bahwa perempuan itu harus berbuat sesuatu untuk dapat terbebas dari segala hal yang bersifat represi dan marginalisasi terhadap mereka, dan hal itu adalah melalui pendidikan. Perempuan harus tetap memperoleh pendidikan yang layak karena dengan pendidikan seorang perempuan dapat berkarya dan mengembangkan potensi yang dimiliki sehingga mereka bisa hidup dan mendapat perlakuan yang layak juga dari orang lain. Hal ini tersirat pada bait ketiga dan keempat dalam puisi ini. Coba lihatlah pada bait ketiga berikut ini.

Bacalah, dengan nama tuhanmu!
Dan kitab-kitab yang kau hempaskan ke dalam diri
Sebelum kata-kata menjadi ajal
Bagi doa-doa kepayang di urat lehermu


    Awalnya saya melihat pada bait ini memiliki sedikit kemiripan dengan penggalan puisi Ajamuddin yang berjudul Ihwal Nun yang saya temukan pada bagian esei buku kumpulan puisi rumahlebah ruang puisi 02 halaman 133. Coba perhatikan penggalan puisi tersebut berikut ini

Mereka ciptakan sendiri sejarah yang tunggal warna tentangmu
“bacalah!” serumu berulang, bahkan dilantangkan dari
Tenggorokan dan urat leher; “bacalah!” tapi yang mereka baca adalah dendam dan kehormatan kabilah yang menafikan
Kabilah lainnya; dari kitab suci yang mana mereka mempelajari
dendam ini, kekasih…


     Pada kedua penggalan bait puisi tersebut ada beberapa penggunaan kata yang sama, seperti bacalah, kitab, dan urat leher. Entah mengapa hal itu bisa terjadi, yang pasti saya mencoba melihat ini sebagai sesuatu hal yang wajar dalam dunia kepenyairan puisi. Karena bisa saja karya-karya yang muncul lebih dulu mempengaruhi karya-karya penyair yang muncul setelahnya. Namun, pastinya setiap penyair memiliki maksud yang berbeda pada setiap karyanya. Sama halnya dengan kedua puisi di atas.


    Kembali berbicara tentang bait ketiga puisi Nur Wahida Idris ini,
Kalimat “Bacalah, dengan nama tuhanmu!”, saya sepertinya tidak asing dengan kalimat ini. Kalimat yang membuat hati saya bergetar dan mengingatkan saya pada sebuah kisah yang tidak akan pernah terjadi lagi saat ini sampai hari akhir nanti. Kisah seorang Nabiyullah, Muhammad SAW yang menerima wahyu pertamanya dari Allah SWT untuk disampaikan pada umat manusia di sebuah tempat yang namanya Gua Hira. Seketika setelah menerima wahyu itu, beliau pun kembali ke rumahnya dengan gemetaran dan berkeringat dingin hingga kemudian beliau menyuruh istrinya, Sitti Khadijah untuk menutupi tubuhnya dengan selimut. Istrinya pun menutupi tubuh beliau dengan penuh kasih sayang. Sesaat kemudian, beliau menceritakan apa yang beliau alami pada istrinya, sahabat, dan keluarganya, dan istrinya menjadi orang pertama yang meyakini kerasulan beliau di saat keluarga beliau yang lain tidak mengakuinya. Bahkan, istrinya rela mengorbankan harta bendanya serta selalu setia dalam perjalanan dakwah beliau.
     Lagi-lagi saya berdecak kagum dengan kepiawaian penyair dalam menulis puisi ini karena selain tentang hak pendidikan yang harus dimiliki oleh perempuan sebagai manusia seperti yang saya katakan di atas terdapat pada bait ini, larik pertama bait ketiga ini membuat saya menangkap sesuatu hal yang lain yang disampaikan oleh penyair. Hanya saja ada satu hal yang membuat saya risih, yakni mengapa pada kata Tuhan tidak menggunakan huruf kapital yang seharusnya digunakan. Namun, saya mencoba menghilangkan kerisihan saya akan hal itu dengan kembali melihat sesuatu yang membuat saya kagum dengan kepiawaian penyair.
   Dari kisah singkat Rasulullah di atas, saya memahami bahwa secara tidak langsung penyair juga telah menyampaikan tentang peran seorang perempuan di balik kesuksesan laki-laki. Jadi di sini penyair benar-benar ingin menegaskan bahwa keberadaan seorang perempuan sangatlah berpengaruh terhadap laki-laki. Sehingga laki-laki harus tetap memberikan kebebasan pada perempuan untuk tetap mengembangkan segala potensi yang mereka miliki.
   Kembali berbicara soal hak perempuan dalam memperoleh pendidikan yang saya pahami sebagai solusi yang ingin disampaikan oleh penyair agar kaum perempuan bisa terbebas dari sarang pemarginalisasian dan segala bentuk represif yang terjadi selama ini. Hal itu jelas dapat kita pahami masih dari bait ini juga. Kata “Bacalah” (iqra) yang merupakan terjemahan dari bagian awal ayat pertama dan ketiga Q.S Al Al-alaq : 96 adalah merupakan sebuah petunjuk bagi manusia agar mampu menggunakan akal dan segala kemampuan intelektualnya untuk dapat mempelajari segala hal atau segala fenomena yang ada di dunia ini. Meminjam sebuah defenisi membaca dari Roger Farr bahwa membaca itu adalah jantungnya pendidikan. Jadi, dengan membaca seseorang dapat belajar segala hal, di manapun dan kapanpun.  Selain itu juga, hakikatnya sebuah prosese pendidikan, yang akan lebih dulu diajarkan adalah membaca. Sehingga saya memaknainya bahwa penyair sangat mengutamakan pendidikan sebagai salah satu hak yang harus dimiliki oleh perempuan dan harus diberikan oleh kaum laki-laki. dan perempuan harus tetap menuntut hal itu.  “Perintah belajar” itu sendiri adalah sangat dianjurkan bagi manusia selama hidupnya sebelum ajal datang menjemputnya. Sehingga benar adanya kata-kata bijak yang mengatakan bahwa tuntutlah ilmu sampai ke liang lahat. Artinya, selama dirinya masih hidup seorang manusia berhak untuk mendapatkan pendidikan, tidak terkecuali bagi kaum perempuan. Hal inilah yang saya lihat disampaikan oleh penyair pada bai ketiga ini.

Kemudian pada bait keempat berikut ini:

Bacalah! sebelum darah mereka yang kau nistakan
Menjadi anggur yang memabukkan di altar yang damai
Ladang dan kebun selayang pandang yang menyekap masa kanakmu
Bagai katak yang berjalan dalam kabut
dan keyakinan yang berkembang menjadi absurd!

    Pada bait ini, saya seakan benar-benar merasakan ungkapan pemberontakan penyair pada laki-laki tentang hak perempuan untuk memperoleh pendidikan yang layak. Kata “bacalah” pada bait ini saya menanggapnya sebagai sebuah repetisi dari penyair untuk mengungkapkan betapa pentingnya hal tersebut, yaitu betapa pentingnya sebuah pendidikan itu diberikan pada kaum perempuan dan hal itu memang harus dimiliki oleh kaum perempuan, sama seperti laki-laki juga. Karena perempuan yang tidak memiliki pendidikan akan membuatnya tertindas dan tidak akan dihargai oleh laki-laki sehingga menimbulkan berbagai macam tindakan kekerasan pada perempuan. Perempuan yang tidak memiliki pendidikan justru akan dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab sehingga kemudian dianggap menjadi sesuatu yang merugikan atau bahkan akan dianggap sebagai sampah masyarakat. Keindahan dan kecantikan yang dimiliki oleh perempuan tidak akan memiliki arti apa-apa jika tidak dibarengi dengan kematangan intelektual.  Selain itu juga, laki-laki yang memilki pendamping hidup seorang perempuan yang berpendidikan pasti akan mencapai kebahagiaan yang sebenarnya. Sebab di balik kesuksesan seorang laki-laki ada peran perempuan-perempuan hebat di belakangnya. Dalam artian, kehadiran perempuan akan membuat hidup seorang laki-laki memiliki tujuan hidup. Sehingga melalui puisinya ini, penyair benar-benar mengungkapkan tentang segala pemberontakannya terhadap segala bentuk pemarginalisasian kaum perempuan. Dalam hal ini, saya melihat hal ini erat kaitannya dengan persoalan emansipasi wanita yang menuntut kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki. Mungkin ada banyak orang yang menolak pernyataan saya ini bahwa emansipasi itu adalah kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Tapi kenyataan pemahaman yang berkembang selama ini adalah seperti itu. Bahkan saya pernah membaca sebuah situs bahwa Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Amalia Sari Gumelar menyatakan akan membentuk RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG) sebagai program seratus hari kerjanya. Terlepas dari soal RUU itu, saya sendiri sepakat emansipasi wanita yang juga berhubungan dengan konsep feminisme adalah merupakan kesetaraan hak laki-laki dan perempuan (kesetaraan gender). Karena dalam konteks ini, yang dibicarakan adalah hak, bukan kewajiban. Hak, setiap orang pasti memilikinya baik perempuan maupun laki-laki. seperti apa yang saya pahami dari puisi penyair ini bahwa perempuan juga memilki hak yang sama dengan laki-laki untuk memperoleh pendidikan yang layak seperti yang diatur dalam UUD RI No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab IV pasal 5 ayat 1 sehingga perempuan tidak hanya menjadi sosok yang hanya bisa diam berpangku tangan, namun memliki kualitas intelektual dan keterampilan hidup yang membuatnya tidak dianggap lagi sebagai makhluk yang lemah dan tidak dapat berbuat apa-apa. Akan tetapi, jika berbicara kewajiban, laki-laki dan perempuan memang memilki kewajiban yang berbeda sesuai kodratnya masing-masing. Dengan kata lain, perempuan bisa melakukan apa saja yang menjadi haknya setelah kewajibannya terlaksana, dan perempuan bebas melakukan apa saja untuk mengembangkan kreativitas dan potensinya selama ia tunduk di bawah konsep moral dan sosial dalam sebuah lingkungan masyarakat.

    Sehingga saya berkesimpulan bahwa Puisi Jiwa Yang Tersekap karya Nur Wahida Idris ini adalah bisa menjadi sebuah kendaaraan untuk mengantarkan kita pada pemahaman feminisme dan emansipasi wanita yang selama ini menjadi kontoversi antar kalangan. Terutama antara individu laki-laki dan perempuan itu sendiri. Saya sendiri melihat dan memahami  feminisme maupun emansipasi wanita bukanlah sebagai sesuatu yang dapat membebaskan perempuan melakukan apa saja tanpa batas, tetapi justru lebih kepada sesuatu hal yang membuat laki-laki dan perempuan “sama” tetapi berbeda dalam konteks  kodrat dan kewajibannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar