Sabtu, 16 Juni 2012

Opini Singkat

Masalah dan Penerapan Rule Of Law di Indonesia

      Berbicara soal Rule Of Law adalah suatu doktrin hukum yang mulai muncul pada abad ke-19, bersamaan dengan kelahiran negara konstitusi dan demokrasi. Ia lahir sejalan dengan tumbuh suburnya demokrasi dan meningkatnya peran parlemen dalam penyelenggaraan negara dan sebagai reaksi terhadap negara absolut yang berkembang sebelumnya. Rule Of Law merupakan konsep tentang common law, di mana segenap lapisan masyarakat dan negara beserta seluruh kelembagaannya menjunjung tinggi supremasi hukum yang dibangun di atas prinsip keadilan dan egalitarian. Di Indonesia sendiri, inti dari Rule Of Law adalah jaminan adanya keadilan bagi masyarakatnya, khususnya keadilan sosial. Pembukaan UUD 1945 memuat prinsip-prinsip Rule Of Law, yang pada hakikatnya merupakan jaminan secara formal terhadap “rasa keadilan” bagi rakyat Indonesia. Dengan kata lain, Pembukaan UUD 1945 memberi jaminan adanya Rule Of Law dan sekaligus Rule Of  Justice bagi rakyat Indonesia. Namun, pada aplikasinya Rule Of Law belum diterapkan sepenuhnya di Indonesia. Mengapa? Karena banyak rakyat Indonesia yang belum mendapatkan rasa keadilan itu dari para pejabat kekuasaan.

      Penegakan hukum di Indonesia sudah lama menjadi masalah serius bagi masyarakat di Indonesia. Bagaimana tidak? Karena persoalan keadilan telah lama diabaikan dalam setiap penyelesaian kasus hukum di negara ini. Hal ini menimbulkan akibat-akibat yang serius dalam konteks penegakan hukum di Indonesia. Banyak contoh kasus yang konkret yang dapat kita lihat selama ini. Perbedaan penyeleseaian kasus hukum antara pejabat negara yang korupsi triliunan uang negara dengan rakyat miskin yang hanya mengambil barang yang nilainya tidak seberapa, menjadi salah satu contoh ketimpangan yang muncul dalam penegakan hukum di Indonesia. Masih ingatkah kita dengan kasus Anggodo, orang yang terlibat dalam kasus suap miliaran rupiah yang dalam beberapa waktu lamanya masih bisa tersenyum manis muncul di setiap pemberitaan dengan keterangan-keterangan palsunya, padahal rekaman pembicarannya dengan rekan-rekan korupsi sejawatnya sudah terpublikasikan di khalayak umum. Sementara, beberapa kasus yang seingat saya muncul di tengah kasus Anggodo tersebut, yang di antaranya tentang seorang nenek yang mengambil dua buah coklat yang rencananya hanya akan dibuatnya menjadi bibit, sudah harus duduk di depan meja hakim untuk menerima vonis hukum padahal dirinya sudah meminta maaf kepada pemiliknya. Ini hanyalah sebagian kecil contoh dari penegakan hukum di Indonesia yang masih sangat jauh dari wacana keadilan yang selama ini di umbar oleh para penegak hukum. Masih banyak juga kasus lain yang terjadi, semisal kasus salah tangkap, penahanan yang sewenang-wenang, dan proses penyitaan yang dilakukan secara melawan hukum telah menjadi urat nadi dari sistem peradilan pidana di Indonesia. Para hakim yang notabene merupakan produk dari sekolah-sekolah hukum yang bertebaran di Indonesia tidak lagi mampu menangkap inti dari semua permasalahan hukum dan hanya melihat dari sisi formalitas hukum saja. Sehingga tujuan hukum yang sesungguhnya malah tidak tercapai. Itulah kenapa, meski dijamin dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya, prinsip persamaan di depan hukum gagal dalam pelaksanaannya. Kebenaran formil, kebenaran yang berdasarkan bukti-bukti surat, adalah kebenaran yang ingin dicapai dalam proses persidangan tanpa melihat proses yang menjadi titik penting dalam merumuskan apa yang dimaksud dengan kebenaran formil tadi. Persoalan di atas makin kompleks, ketika aparat penegak hukum (hakim, jaksa, polisi, advokat) juga mudah atau dimudahkan untuk melakukan berbagai tindakan tercela dan sekaligus melawan hukum. Suatu tindakan yang terkadang dilatarbelakangi salah satunya oleh alasan rendahnya kesejahteraan ekonomi dari para aparat penegak hukum tersebut ( kecuali mungkin advokat). Akan tetapi, memberikan gaji yang tinggi bagi mereka juga tidak menjamin bahwa aparat penegak hukum tersebut tidak lagi melakukan tindakan tercela dan melawan hukum karena praktek-praktek melawan hukum telah menjadi bagian hidup atau setidaknya merupakan pemandangan yang umum dilihat sejak mereka duduk di bangku mahasiswa sebuah fakultas hukum. Selain itu juga, seluruh mahasiswa hukum atau ahli-ahli hukum hanya mempunyai pengetahuan dengan baik bahwa kebenaran materil, kebenaran yang dicapai berdasarkan kesaksian-kesaksian adalah hal yang ingin dicapai dalam sistem peradilan pidana. Namun, kebanyakan dari mereka gagal memahami bahwa tujuan diperolehnya kebenaran materil sesungguhnya hanya akan dapat dicapai apabila seluruh proses pidana berjalan dengan di atas rel hukum, mereka tidak lagi diajarkan bagaimana memandang dan menafsirkan perundang-undangan. Intinya, persoalan keadilan atau yang menyentuh rasa keadilan masyarakat diabaikan dalam sistem pendidikan hukum di Indonesia. Masalahnya sekarang adalah bagaimana mengatasi ini semua, tentunya harus dimulai dari pembenahan sistem pendidikan hukum di Indonesia yang harus juga diikuti dengan penguatan kode etik profesi dan organisasi profesi bagi kelompok advokat, pengaturan dan penguatan kode perilaku bagi hakim, jaksa, dan polisi serta adanya sanksi yang tegas terhadap setiap terjadinya tindakan tercela, adanya transparansi informasi hukum melalui putusan-putusan pengadilan yang dapat diakses oleh masyarakat, dan adanya kesejahteraan dan kondisi kerja yang baik bagi aparat penegak hukum. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar