Jumat, 15 Juni 2012

Kajian Puisi Semester II

Semiotika Unsur Tokoh dalam “Sejak Matahari Hanya Bicara pada Bunga-Bunga”



“Sesuatu yang menarik memang selalu melahirkan rasa penasaran.”
      Percaya atau tidak, yang pasti kesan itulah yang pertama kali saya peroleh saat saya ‘bertemu dan berkenalan’ dengan puisi “Sejak Matahari Hanya Bicara pada Bunga-Bunga’ karya Irianto Ibrahim ini.

     Sebagai seorang penyair, Irianto Ibrahim memang bisa dikatakan telah cukup berhasil dalam dunia kepenyairan puisi. Kepiawaiannys dalam menulis puisi memang tidak perlu diragukan lagi. Penyair nusantara dari Sulawesi Tenggara yang lahir di Gu-Buton, 21 Oktober 1978 ini,  belajar sastra sejak bergabung di Teater Sendiri Kendari tahun 1997. Puisinya dimuat dalam antologi bersama Malam Bulan Puisi (Kumpulan sajak teater sendiri), Ragam Jejak Tsunami (Kantor Bahasa Medan). Selain itu, kumpulan sajak tunggalnya terbit untuk kalangan sendiri yaitu Barasanji di Tengah Karang (2004), Bunda, Kirimkan Nanda Doa-Doa (2006), Yang Tak Pernah Selesai (2007).
Penyair juga semasa mahasiswa mendirikan Pekerja Puisi Sultra (eksis). Kemudian mendirikan Komunitas Arus, ruang baca, teater dan kedai buku, sebuah ruang diskusi dan pengkajian sastra di Kendari, Sulawesi Tenggara. Penyair juga pernah menjadi peserta Program Penulisan Puisi Maestra di Samarinda, Kalimantan Timur.
      Sekarang, selain menjadi seorang penyair yang aktif menghasilkan tulisan-tulisannya, Irianto Ibrahim juga mengajar mata kuliah Kajian Puisi dan beberapa mata kuliah lainnya di FKIP Universitas Haluoleo Kendari, program studi Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia dan Daerah. Kampus, di mana tempat saya menuntut ilmu. Hal inilah yang menjadi suatu kebanggan tersendiri bagi saya  bisa mengkaji puisi dari seorang penyair yang sekaligus juga adalah dosen saya. Terlepas dari semua itu, saya adalah tetap sebagai penikmat puisi yang berusaha mengkaji sebuah puisi sesuai dengan kemampuan analisis yang saya miliki.

     Kembali berbicara tentang  puisi “Sejak Matahari Hanya Bicara pada Bunga-Bunga”, karya Irianto Ibrahim ini. Terlalu sulit awalnya untuk mengkaji dan memahami makna dari puisi ini. Namun, seperti yang saya katakan di awal tadi, puisi ini membuat saya merasa penasaran. Sehingga  rasa penasaran itulah yang kemudian membangkitkan hasrat keingintahuan saya untuk lebih jauh ‘menelanjangi’ puisi ini dengan belajar untuk tetap berada pada limit interpretasi sebuah puisi yang saya pahami
Saya tidak ingin hanya penyair yang bisa “bicara” pada puisinya, tapi saya juga menginginkan puisi ini bisa “bicara” pada saya sebagai orang yang diperkenalkan oleh penyair dengan puisinya tersebut (pembaca). Terlepas dari sama tidaknya yang “dibicarakan” oleh penyair pada puisinya dengan yang “dibicarakan” oleh puisi itu sendiri pada saya sebagai pembaca.

Saat membaca puisi ini, saya melihat bahwa penyair menggunakan permainan tokoh di dalamnya. Permainan tokoh yang saya maksudkan di sini adalah penyair seolah menceritakan kisah seseorang dengan orang lain dalam puisi ini, tetapi tokoh yang lain itu tidak disuratkan oleh penyair. Bahkan, tokoh “ia lirik” yang menjadi tokoh satu-satunya yang disuratkan oleh penyair dengan menggunakan sudut pandang orang ketiga belum bisa dilihat secara jelas  apakah “ia lirik” yang dimaksudkan oleh penyair tersebut dalam puisinya ini adalah perempuan atau laki-laki.
Hal inilah yang kemudian membuat saya tertarik untuk terfokus mengkaji unsur tokoh dalam puisi ini dengan melihat bahasa-bahasa simbol yang digunakan oleh penyair, yang bisa menunjukkan unsur-unsur tokoh tersebut.
Berbicara soal simbol berarti berbicara tentang semiotika. Mengutip dari buku Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, karangan Prof. Dr. Nyoman Ratna, S.U tentang semiotika, dalam buku ini dijelaskan bahwa Selden (1986:54) menganggap strukturalisme dan semiotika termasuk ke dalam bidang ilmu yang sama, sehingga keduanya dapat dioperasikan secara bersama-sama. Untuk menemukan makna suatu karya, analisis strukturalisme mesti dilanjutkan dengan analisis semiotika. Demikian juga sebaliknya, analisis semiotika mengandaikan sudah melakukan analisis strukturalisme. Semata-mata dalam hubungan ini, yaitu sebagai proses dan cara kerja analisis keduanya seolah-olah tidak bisa dipisahkan. Oleh karena itu, berangkat dari pemahaman tersebut saya mencoba mengkaji makna dari puisi ini dengan menganalisis unsur tokoh dari bahasa-bahasa simbol yang digunakan oleh penyair dalam puisi ini. Dalam hal ini, saya mencoba mnegkaji puisi ini dengan menyatukan analisis strukturalisme dan semiotika.

Coba perhatikan tiga larik pertama pada bait pertama berikut ini

Sejak matahari hanya bicara pada bunga-bunga
Ia tak lagi ke taman itu
Ia ingin sendiri saja,

Lihat juga dua larik pertama pada bait kedua

Sejak matahari hanya bicara pada bunga-bunga
Ia ingin sendiri saja

      Pada kedua kutipan larik di atas, dapat dilihat bahwa “ia lirik” di sini sedang merasakan kekecewaan kepada seseorang sehingga “ia lirik” terkesan merajuk untuk tidak ingin pergi lagi ke tempat yang biasanya ia datangi dengan seseorang tersebut. Akan tetapi,  kita belum dapat memastikan  yang menjadi tokoh “ia lirik” di sini adalah perempuan atau laki-laki. Larik sejak matahari hanya bicara pada bunga-bunga, terlepas dari sebagai bahasa simbol yang menunjukkan waktu dan suasana terjadinya peristiwa dalam puisi tersebut, juga dapat dipahami sebagai simbol yang menunjukkan siapa itu “ia lirik”.
Kata bunga-bunga menjadi bahasa simbol yang saya maksudkan, saya memaknai kata ini sebagai simbol yang menunjukkan jika  ia lirik di sini adalah perempuan. Karena bunga adalah sesuatu yang indah, menarik, dan mempesona,. Sama halnya dengan perempuan yang juga sebagai makhluk yang memiliki nilai keindahan dalam hal fisik dan kepribadian.

      Hal seperti ini juga dapat kita lihat pada karya Irianto Ibrahim yang berjudul “Malam Pengantin”. Puisi ini juga pernah menjadi kontroversi pada sebuah ajang diskusi di Komunitas Arus pada satu waktu tertentu, dan yang menjadi masalahnya adalah sama, yakni tentang tokoh yang ada di dalam puisi ini karena pada  puisi ini juga penyair meceritakan kisah seseorang dengan pasangannya. Akan tetapi tidak tersurat secara jelas yang menjadi “ia lirik” di sini apakah perempuan atau laki-laki. sehingga ada yang berpendapat bahwa “ia lirik” di sini adalah perempuan. Namun, ada juga yang mengatakan bahwa “ia lirik” adalah laki-laki. Saya sendiri memaknai bahwa “ia lirik” pada puisi “Malam Pengantin”  tersebut adalah memang perempuan.

Coba perhatikan penggalan kutipan puisinya berikut ini

Di tepi ranjang ia terduduk
Kedua tangannya meremas seprei putih
Wajahnya menunggu
Kedua matanya hampa…


Kata ‘seprei putih’, menjadi bahasa simbol yang membuat saya memaknai bahwa “ia lirik” di sini sebenarnya adalah perempuan. Karena warna putih itu adalah warna yang suci dan selalu identik menjadi warna favorit perempuan. Sehingga itu bisa menjadi simbol bahwa tokoh ia lirik di situ adalah perempuan. Terlepas dari bagaimana alasan orang lain yang menganggap bahwa tokoh “ia lirik” di situ adalah laki-laki. Karena setiap pembaca berhak memiliki pendapat yang berbeda dalam mengkaji sebuah puisi.


Kembali pada puisi “Sejak Matahari Hanya Bicara pada Bunga-Bunga”
Selain tokoh “ia lirik”, ada juga beberapa beberapa kata yang saya maknai sebagai simbol yang menunjukkkan tokoh lain dalam puisi ini, sekaligus membawa alur berpikir saya pada alur dan ending cerita dari puisi ini.

coba perhatikan bait kedua berikut ini

sejak matahari hanya bicara pada bunga-bunga
ia ingin sendiri saja
memandang gunung yang kurus karena kemarau
atau kidung riang burung-burung perayu
ia hanya bermain dengan seekor kucing betina 
yang entah datang dari mana
ketika malam bertahap menjadi keruh
angin tiba-tiba mengendus
mengambil kucing itu
melarikannya ke gunung
dan menyembunyikannya dekat pohon kuku
pohon yang lebih ia benci dari pacar pertamanya
ia marah
ia kesal
sejak itu ia tak ingin bicara pada angin


      Pada bait di atas ada kata kucing betina, yang menjadi pertanyaan mengapa harus kucing betina dan bukan kucing jantan? Atau mengapa harus kucing dan bukan hewan yang lainnya?
Di sini saya memahaminya seperti ini, kucing itu adalah jenis hewan peliharaan yang paling banyak di senangi orang dan juga bahkan paling mudah  ditemui di mana saja. Sedangkan betina berarti induk, induk itu sifatnya penyayang dan melindungi. Sehingga saya memahami ini sebagai simbol akan “hubungan” antara “ia lirik” dengan sesorang. Hubungan yang dimaksudkan di sini adalah hubungan kekasih antara “ia lirik” dengan seseorang tersebut. Karena seperti yang kita ketahui selama ini, hubungan kekasih itu bisa terjalin kapan saja, di mana saja dan pada siapa saja. Namun, hubungan itu kemudian menjadi berantakan  ketika ada orang lain yang hadir antara “ia lirik” dengan kekasihnya tersebut. Orang ketiga tersebut kemudian disimbolkan dengan angin.

Hal itu digambarkan oleh penyair pada larik

angin tiba-tiba mengendus
mengambil kucing itu
melarikannya ke gunung
dan menyembunyikannya dekat pohon kuku
pohon yang lebih ia benci daripacar pertamanya
ia marah
ia kesal
sejak saat itu ia tak ingin bicara pada angin

      Orang ketiga yang disimbolkan dengan angin di sini bisa jadi adalah sahabatnya sendiri. Sahabat yang selama ini selalu membuat “ia lirik” merasa nyaman dan selalu menjadi tempatnya berbagi. Namun pada akhirnya menghianati “ia lirik”. Dalam hal ini, angin yang tadi menyejukkan berubah menjadi badai bagi “ia lirik”. Sedangkan pohon kuku, saya memaknainya sebagai laki-laki, atau kekasih dari si “ia lirik” tersebut. Orang yang kemudian sangat dibenci oleh “ia lirik” dari pacar pertamanya dahulu. Karena kekasihnya tersebut meninggalkan “ia lirik” dan menjalin hubungan dengan sahabat “ia lirik” sendiri. Hal inilah yang kemudian menurut saya menjadi akhir cerita dari “ia lirik” karena penyair mengatakan sejak saat itu ia tak ingin bicara pada angin. artinya sejak peristiwa itu, “ia lirik” tak mau lagi mengenal sahabatnya yang telah membuat “ia lirik” menjadi kecewa. Dalam hal ini, “ia lirik” ingin melupakan semua kenangannya bersama kekasihnya juga sahabatnya dan tidak ingin lagi mengenal keduanya..
      Dengan demikian, secara keseluruhan dapat dilihat bahwa dalam puisi ini, penyair menggunakan bahasa-bahasa simbol yang menunjukkan unsur tokoh di dalamnya. Bahkan, hal ini juga terdapat pada contoh puisi-puisi penyair yang lainnya. Namun, tidak semua puisinya harus menggunakan pendekatan seperti ini. Kembali pada pembaca itu sendiri bagaimana memahami karya tersebut, serta pendekatan apa yang digunakannya.
      Lagi-lagi saya hanya bisa berdecak kagum terhadap kepiawaian penyair dalam menulis sebuah puisi yang jika dilihat sekilas sederhana, namun ternyata memiliki makna yang dalam dengan bahasa-bahasa yang begitu romantis, yang mungkin awalnya sulit untuk dimengerti. Akan tetapi, jika sudah dikaji lebih jauh dan tenggelam dalam bahasa-bahasa yang ada dalam puisi itu  maka kita akan menemukan kedalaman makna puisinya tersebut.  


_ _ Selamat Membaca _ _

Tidak ada komentar:

Posting Komentar