Sabtu, 16 Juni 2012

Cerpen "MDS"

Senyum Terindah Bunda

      Hari itu, panas terik matahari seakan membakar kulit. Matahari seperti hanya berjarak sejengkal di atas ubun-ubun. Semakin menambah terasanya lapar dan dahaga orang-orang yang menjalankan ibadah puasa di hari terakhir Ramadhan. Di sana sini tampak orang-orang sibuk dengan urusannya masing-masing untuk menyambut hari Lebaran pada keesokan harinya.
      Sementara itu, di seberang jalan tampak seorang gadis kecil berumur 13 tahun berdiri dengan gundukan koran di depan dadanya. Dia terlihat sangat letih, namun suaranya terus melengking memecah kebisingan jalan. Seakan dia tak mau kalah dengan riuhnya suara kendaraan yang lalu lalang di hadapannya. Sambil mengusap peluh yang terus membasahi wajahnya, sesekali dia memperbaiki ujung jilbab kumalnya yang terus dipermainkan angin berbalut debu dan asap kendaraan. Parasnya yang ayu semakin terlihat legam terbakar teriknya matahari bercampur debu jalanan.
    Gadis kecil itu adalah Anisa, lebih akrabnya disapa “Nisa”. Gadis kecil yang periang dan sabar. Dia sering menyebut dirinya kepada teman-temannya dengan sebutan “Gadis malang tapi bukan penghalang”.
Yah…kedengarannya memang terlalu aneh dan unik. Tapi itulah Nisa, gadis kecil yang tak pernah menganggap kemalangannya ditinggalkan oleh Ayahnya tanpa kabar sebagai suatu penghalang bagi dirinya untuk menjalani kehidupan.            
    Hidup memang keras, bahkan untuk seorang gadis kecil seperti Nisa pun harus merasakan penderitaan berjuang sendiri mencari nafkah untuk dirinya dan Ibunya. Dunia ini bahkan terkadang terasa mempunyai dua sisi yang berbeda bagi Nisa. Satu sisi dengan ukuran yang kecil ditempati oleh orang-orang kaya sedangkan satu sisi lainnya dengan ukuran yang lebih besar ditempati oleh orang-orang miskin seperti dirinya. Namun ukuran itu bukanlah menjadi sesuatu yang harus dibanggakan bagi Nisa dan orang-orang yang memiliki nasib sama sepertinya. Karena bagi mereka hidup mareka bukan sedang dijalani dengan “hukum rimba”, siapa yang kuat dan memiliki wilayah yang luas maka dialah yang menjadi pemenang. Tapi hidup mereka adalah perjuangan. Hidup mereka adalah tenaga, keringat, dan air mata yang saling berpacu dengan waktu untuk mencari sesuap nasi.


     Suasana jalanan saat itu sangat ramai. Tampak beberapa anak jalanan sedang asyik dengan kesibukannya masing-masing. Ada yang menyemir sepatu, menjajakan koran, bahkan sampai berdagang asongan pun ada meskipun hari itu masih dalam suasana Ramadhan. Semua itu mereka lakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
   Tampak di salah satu sisi jalan Nisa terlihat bersama anak-anak penjual koran lainnya sedang sibuk menjajakan koran mereka di antara kendaraan yang sedang berhenti di “Traffic light”. Dia tampak sangat bersemangat meskipun terik matahari membakar kulitnya.
“Koran Pak…, Koran!!” “Edisi hari ini..!!” “Berita hangat..!!”. Teriaknya penuh semangat di antara kendaraan yang berhenti.
“Sreeettt…”, tiba-tiba seorang bapak dari dalam sebuah mobil mewah menarik satu buah koran yang sedang dijajakan Nisa.
“Ya Allah…, itu kan mobil yang sama dengan dengan waktu itu !” Ujar Nisa kaget.
Belum juga sempat meminta uangnya, mobil itu sudah melaju meninggalkan Nisa begitu saja yang masih terus berusaha mengejar di belakangnya.
“Tunggu Pak...!!” “Uangnya Pak..!!” Pekik Nisa sambil terus berlari mengejar mobil yang kian melaju kencang.
“Astaghfirullahal’adzim..!!” “Ya Allah..berilah Nisa kesabaran agar Nisa bisa menjaga puasa Nisa”. Ujar Nisa polos dengan nafas yang masih turun naik.
Nisa kemudian melangkah pergi dengan pikiran yang tak menentu. Dia masih belum mengerti kenapa selalu mobil itu yang harus dia temui dan siapa Bapak di dalam mobil itu yang tega berbuat itu terhadap dirinya.
“Ya Allah.., Sebenarnya ada apa antara Nisa dengan Bapak di mobil itu?”. “Karena Bunda selalu bilang sama Nisa kalau Allah selalu merencanakan sesuatu di setiap hal yang Nisa alami”. “Atau..., Apa jangan-jangan Bapak itu…, Ah..tapi gak mungkin!!” Ujar Nisa akhirnya sambil bergegas pergi menjajakan korannya yang masih tersisa.

    Tanpa terasa hari semakin senja, suara kebisingan jalanan kini perlahan mulai berkurang dan berganti dengan suara lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an yang datang dari beberapa masjid di sekitar tempat itu. Tampak di salah satu sisi trotoar jalan Nisa terlihat sedang asyik menghitung hasil penjualan korannya hari itu.
“Alhamdulillah…!!” “Terima kasih Ya Allah.., hari ini Nisa masih mendapatkan uang yang cukup untuk Nisa berikan pada Bunda”. Ujarnya sambil mengusap air mata di sudut matanya yang bening dan polos.
Sesaat kemudian Nisa telah larut dalam pikirannya akan masa lalunya di saat Ayahnya meninggalkan dia dan Ibunya 12 tahun silam.
“Ya Allah..di mana Ayah Nisa ?” “Nisa bahkan sudah lupa dengan wajah Ayah Nisa sekarang !!” “Kenapa Ayah Nisa meninggalkan Nisa dan Bunda sendiri ?”. Tanya Nisa seolah mencari jawaban sendiri atas pertanyaan-pertanyaan hatinya. Sejenak Nisa telah sibuk dengan sejuta pertanyaannya sendiri yang terus bermain dalam alam pikirannya. Tanpa dia sadari matahari sudah semakin menarik diri dari alam raya untuk berganti posisi dengan bulan dan bintang yang siap menampakkan dirinya di malam hari. Nisa Kemudian dikejutkan dengan suara Azan yang saling bersahutan dari beberapa masjid di sekitar tempat itu.
“Astaghfirullahal’adzim...!” Ujar Nisa singkat sambil bergegas pergi menuju gang kecil di ujung jalan. Di sanalah Nisa tinggal bersama dengan Ibunya, di sebuah tempat yang tak layak disebut rumah. Namun, Nisa tak pernah mengeluh pada Ibunya karena dia selalu ingat akan kata-katanya sendiri bahwa meskipun dia sering dikatakan gadis kecil yang malang tapi bukan berarti dia harus menjadi suatu penghalang bagi Ibunya.
Setibanya di halaman rumahnya, Nisa terhenti sejenak di depan pintu. Sesaat dia menikmati lantunan suara Ibunya yang tengah membaca ayat suci Al-Qur’an dari dalam rumah. Nisa seperti merasa tidak asing lagi dengan Surah yang dibaca oleh Ibunya karena Nisa telah menghafal sebagian Ayat dari Surah tersebut.
“Ya..Nisa tahu Surah ini, ini adalah Surah Yasin karena Bunda sering membacanya setiap menjelang subuh. Sehingga membuat Nisa terbangun karena mendengar suara Bunda yang menyejukkan hati Nisa. Gumam Nisa seolah berbicara dengan dirinya sendiri.
“Lho.. Nis, kenapa belum masuk Nak ?” Tegur Ibunya yang tiba-tiba muncul dari balik pintu dengan sepasang tongkat yang selalu menemaninya.
“Eh…Bunda, ngagetin Nisa aja !!” Ujar Nisa sambil tersenyum pada Ibunya.
“Emang Nisa ngapain berdiri depan pintu ?” Bukannya masuk ganti baju terus shalat, ini malah ngelamun depan pintu!!”. “Nanti keburu habis waktu shalatnya...Nis!!” Lanjut Ibunya lagi.
“Maaf Bun.., soalnya tadi Nisa lagi nikmatin suara Bunda ngaji !!”. Jawab Nisa sambil membimbing Ibunya masuk ke dalam rumah.
Ibu Nisa memang lumpuh semenjak 5 tahun yang lalu. Tepatnya 8 tahun setelah
kepergian Ayah Nisa, Ibu Nisa mengalami kecelakaan di saat sedang menjajakan koran di tempat yang sama dengan tempat Nisa menjual koran sekarang.


....Allahu Akbar... Walillahil hamdu…      
     Sayup-sayup terdengar gema takbir yang menggetarkan hati dan jiwa dari arah masjid tak jauh dari rumah Nisa. Suasana malam kini tak seperti biasanya, langit cerah dengan sinar bulan yang tampak tersenyum ramah ditemani cahaya bintang seakan menyertai langkah dan tawa anak-anak kecil yang sedang berlari bersuka ria dengan membawa kembang api di kedua tangannya, hal itu semakin menambah semaraknya suasana malam di sekitar rumah Nisa. Namun, hal itu sungguh sangat berbeda dengan suasana dalam rumah Nisa yang tengah larut dalam kesedihan.
“Nis.., Nisa gak kangen sama Ayah ?” Tanya Ibunya lirih memulai pembicaraan.
“Emang Bunda kangen sama Ayah ?” Tanya Nisa balik pada Ibunya sambil merapikan mukenah yang habis digunakannya shalat Isya bersama Ibunya.
“Kamu tuh Nis, Bunda nanya malah balik nanya juga !!” Sela Ibunya.
“Nis, Bunda harap kalau nantinya Bunda udah gak ada Nisa mau cari Ayah. Karena Bunda gak mau nantinya Nisa tinggal sendiri. Nanti Bunda akan berikan foto Ayah satu-satunya buat Nisa, supaya Nisa bisa cari Ayah”. Lanjut Ibunya lagi dengan suara menahan tangis.
“Bunda gak boleh ngomong gitu, Bun..!” Nisa sayang sama Bunda”. Isak Nisa yang sedari tadi berusaha menahannya sambil memeluk Ibunya dengan erat.
“Bunda juga sayang sama Nisa”. Ujar Ibunya berusaha menenangkan Nisa.
“Nis, Bunda bilang gitu karena Bunda ingin Nisa kuat. Bunda dan Nisa kan gak tahu kapan Bunda dipanggil Allah”. Lanjutnya lagi sambil mencium kening Nisa.
“Tapi kan, Bun..!” “Ssstt.., sudahlah. Sekarang Nisa tidur aja, nanti bisa-bisa Nisa telat bangun paginya!!” Potong Ibunya sambil tersenyum manis kepada Nisa dan kemudian mencium dahinya.
     Senyum itu adalah senyum terindah yang pernah dilihat Nisa dari Ibunya dibalik wajahnya yang cerah malam itu. Nisa pun sempat memandangi wajah Ibunya dalam-dalam seakan dia tak mau mengalihkan pandangannya ke tempat lain sampai akhirnya dia terlelap di atas pangkuan Ibunya. Nisa tak pernah menyangka kalau malam itu adalah malam terakhirnya bersama Ibunya. Dan senyum itu…adalah senyum terindah dan terakhir dari Ibunya untuknya.
    Subuh itu, Nisa terbangun dengan diliputi rasa heran karena tak ada lagi suara Ibunya membaca Al-Qur’an yang didengarnya setiap subuh. Sesaat, dia teringat akan ucapan Ibunya semalam. Tanpa berlama-lama lagi dia pun menggeliat bangun dari tempat tidurnya.
“Alhamdulillah..!!” Ucapnya pelan. Dilihatnya Ibunya sedang sujud menggunakan mukenah dan sajadah usang yang dulunya adalah mahar pernikahan dari Ayahnya yang sampai sekarang selalu digunakan Ibunya untuk shalat. Akhirnya, Nisa pun kemudian bergegas berwudhu dan melaksanakan shalat Subuh. Tetapi, setelah selesai shalat Nisa heran melihat Ibunya yang masih tetap pada posisi sujud. Ditungguinya selama beberapa saat, tapi Ibunya masih tetap pada posisis seperti itu. Detak jantung Nisa mulai tak menentu, keringat dingin mulai membasahi tubuhnya, dan tanpa dia sadari air matanya pun sudah membanjiri kedua pipinya. Nisa kemudian perlahan memeluk tubuh kaku Ibunya yang kemudian jatuh tersungkur di atas pangkuannya. Saat itu, Nisa baru yakin dan menyadari jika Ibunya sudah tiada.
“Bunda.., Bunda.., jangan tinggalin Nisa, Bunda!!” Isak Nisa memecah keheningan subuh. Di tengah suasana hatinya yang galau Nisa melihat ada sesuatu di samping Ibunya. Yah...itu sebuah foto, foto Ayahnya. Nisa kemudian
teringat akan pesan Ibunya semalam untuk mencari keberadaan Ayahnya.
“Tapi di mana..?” “Di mana Ayah.., Bunda ?” Isak Nisa semakin keras.



Tiba-tiba.., “Nisa..!!”. Sapa seorang laki-laki di belakang Nisa dengan lembut.
“I..ii..ya!” Jawab Nisa terbata-bata sambil mengusap air mata di pipinya dan kemudian menutup diary pinknya.
“Kenapa Ayah..?”. Lanjut Nisa lagi kepada laki-laki itu yang ternyata adalah Ayahnya.
“Nis, kita pulang ya..Nak!!”. Ajaknya pada Nisa.
“Iya Ayah, sebentar lagi. Nisa masih kangen sama Bunda!!” Ujar Nisa masih dengan suara terisak.
     Nisa kini sudah tinggal bersama Ayahnya. Tepatnya satu tahun sepeninggal Ibunya, Nisa telah bertemu dengan Ayahnya. Dan  hari itu, Nisa sedang ziarah ke makam Ibunya bersama dengan Ayahnya. Dan beberapa saat yang lalu, Nisa sedang terlarut dalam kisahnya sendiri yang dia tulis dalam buku diary pinknya yang setiap sast selalu dibacanya jika dia merindukan Ibunya. Bahkan kisah hidupnya itu sudah pernah menjadi sebuah cerpen yang kemudian akhirnya menjadi pemenang lomba cerpen dalam sebuah tabloid mingguan dengan menggunakan nama pena “Rifky Anizar “. Namun, Nisa tak pernah merasa apa yang didapatkannya itu adalah sesuatu yang layak untuk dia banggakan meskipun itu menjadi awal munculnya karya-karya tulis terbaik Nisa lainnya. Karena dia merasa bahwa dia hanya ingin menuangkan apa yang dia alami dan rasakan dalam sebuah tulisan yang dapat dijadikan sebuah  pelajaran hidup bagi pembacanya. Meskipun Nisa tahu kalau kebanyakan orang yang membaca hasil karyanya itu hanya akan memberikan apresiasi terhadap hasilnya saja tanpa mau tahu mengapa dan dari mana asal ide cerita itu didapatkan.
     Nisa masih terus memandangi makam Ibunya. Di sampingnya berdiri Ayahnya yang masih setia menunggu dan menemaninya.
“Bunda, ini tahun ketiga Nisa menjalani Ramadhan tanpa kehadiran Bunda”. “Tak ada lagi suara merdu Bunda yang membangunkan Nisa di waktu Subuh”. “Tak ada lagi.., Bunda!” Bisik Nisa pelan dengan suara yang masih terisak.
“Bunda, kini Nisa sudah menemukan Ayah. Lelaki yang dulunya selalu Nisa ceritakan pada Bunda yang sering mengambil koran yang Nisa jual tanpa memberi  uangnya,dia ternyata Ayah Nisa.”. Lanjutnya lagi dalam hati.
 “Bunda.., Nisa sayang Bunda !”. “Nisa tak akan pernah  melupakan senyum terakhir Bunda yang membuat Nisa kuat sampai hari ini”. “Selamat jalan Bunda !!” Bisik Nisa dalam hati, kemudian melangkah pergi meninggalkan makam Ibunya dengan air mata yang masih terus menetes di pipi….


 By : Innah MDS

                                                                                                                     
                                            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar